1. Umat Perdana
Tahun 2008, di persimpangan Pusat Grosir Cililitan (PGC), setiap hari berjubel manusia tak terhitung banyaknya. Tak sejengkal tanah pun dibiarkan menganggur. Jalanan begitu padat dengan aneka ragam kendaraan. Berbagai macam dan jenis moda angkutan umum berderet parkir di persimpangan jalan itu yang telah berubah fungsi menjadi terminal. Sementara itu di tepi-tepi jalan dijejali olah penuh sesaknya pedagang kaki lima yang menggoda para pejalan kaki untuk membeli aneka macam buah-buahan dan barang-barang kelontong. Tak hanya pasar modern PGC dan Carrefour Kramatjati, tetapi juga pasar tradisional Cililitan dan pasar tradisional Kramatjati berada di seputar persimpangan itu. Tak jauh dari situ berdiri kampus UKI dan beberapa kantor pemerintah serta gedung-gedung jangkung bangunan apartemen-apartemen baru. Cawang Interchange merupakan persimpangan jalan tol yang amat rumit dan padat lalu lintas. Tapi juga tower-tower PLN tegangan tinggi menjulang di persimpangan itu. Pendeknya, tak ada yang tidak ada di persimpangan Cililitan! (ilustrasi gambar tower-tower tegangan tinggi atau kesemrawutan persimpangan PGC)
Tapi pada awal tahun empat puluhan, daerah Kramatjati benar-benar adalah hutan jati yang keramat. Daerah ini masih sepi. Penduduk asli tinggal di tanah-tanah yang masih lapang di kampung-kampung yang penghuninya masih jarang. Menilik dari letak geografisnya, daerah ini memang amat strategis karena menjadi pintu masuk menuju pusat kota Jakarta baik dari arah Bogor dan dari arah Timur. Barangkali oleh alasan inilah maka sejak zaman Belanda daerah Kramatjati selalu dipakai sebagai tempat pos-pos militer. Di Kramatjati ada tangsi militer Halim, tangsi Batalyon Menado 3 Mei, Asrama “Veldpolite” Cililitan dan lapangan terbang militer Halim yang dulu disebut Bulakkapal. Selain itu ada kamp militer di Cijantung dan Pasar Rebo. Daerah Cijantung dan Pasar Rebo dahulu masih disebut sebagai Tanjung Barat dan Tanjung Timur yang pada waktu itu juga masih merupakan sebuah daerah perkebunan milik pemerintah kolonial Belanda. Setelah Belanda jatuh, perkebunan kemudian dikuasai oleh Jepang. (ilustrasi gambar tentara di padang luas cililitan)
Tahun 1944 sejarah gereja mulai menulis catatannya. Pada tahun tersebut, Mgr. Willekens SJ mencatat, “Di perkebunan itu terdapat 625 orang Menado yang terdiri dari ibu-ibu dan anak-anak: 400 di Tanjung Timur dan 225 di Tanjung Barat”. Pada bulan berikutnya pastor Moningka Pr diutus oleh paroki Katedral datang di daerah itu dan menemukan sepuluh keluarga katolik di Tanjung Timur dan lima di Tanjung Barat. Pastor Moningka Pr kemudian meminta izin dari pihak penguasa Jepang untuk mengadakan ibadat bagi warga katolik di perkebunan itu. Maka sejak 14 Mei ia mulai mengadakan ibadat di Tanjung Timur. Jepang juga mengizinkan warga katolik menggunakan sebuah bangunan kecil di belakang tangsi untuk keperluan ibadat. (ilustrasi gambar aula yang menjadi tempat ibadat).
Tahun 1945 Jepang menyerah kalah dan tentara Sekutu masuk. Tentara Belanda kemudian menduduki lapangan terbang militer Halim, asrama “Veldpolite” Cililitan dan sejumlah tempat strategis sampai daerah Tanjung. Pada masa itu, beberapa pastor tentara Belanda memberikan pelayanan rohani bagi umat katolik. Mereka mengadakan misa di tangsi-tangsi sekaligus mengurus umat Manado di daerah itu.
Kehadiran asrama-asrama militer baik semasa masa penjajahan Belanda, Jepang, masa kekuasaan oleh Sekutu, pada masa revolusi kemerdekaan dan semasa kemerdekaan Indonesia, mempunyai arti penting dalam sejarah perekembangan umat perdana di kawasan Kramatjati. Dapat dikatakan bahwa kelompok pertama orang katolik Kramatjati dimulai dari asrama-asrama militer seperti kelompok keluarga-keluarga Heiho yang dipindahkan Jepang dari Menado di daerah perkebunan Cijantung dan Pasar Rebo.
2. Pergi ke tengah kampung.
Setelah Belanda meninggalkan Indonesia, pelayanan rohani diambil alih oleh pastor TNI. Pada 1 Juli 1951 pastor D. Daruwendra SJ diangkat menjadi “Paderi Tentara Pembantu Djatinegara”. Sejak itu kegiatan ibadah di antara keluarga-keluarga militer berkembang cukup baik. Melihat semakin bertumbuhnya jumlah umat, maka mulai 1954 reksa pastoral umat di wilayah Cililitan resmi termasuk paroki Katedral.
Dalam perkembangan selanjutnya baik dari kalangan tentara maupun sipil jumlah umat katolik semakin banyak. Maka dari itu semakin dirasakan perlunya kelompok umat tersebut dilayani lebih teratur sehingga peribadatan dapat dijalankan menjadi lebih baik. Selain itu ada dorongan keinginan umat akan kebutuhan ruangan untuk ibadat, terutama digunakan sebagai tempat untuk misa pada hari-hari minggu. Berkat usaha dari beberapa anggota TNI, maka pada 13 April 1954 Mgr. A. Djajaseputra SJ meresmikan berdirinya sebuah panitia pembangunan yang dinamakan “Panitia Pembangunan Gereja Kramatjati”. Panitia terdiri dari Joh. Soekidjo, Al. Soerjono, dan F.A. Dahlan. Tugas pokok panitia adalah mendapatkan sebuah ruangan atau tempat yang cukup layak untuk digunakan sebagai sarana ibadat.
Beberapa bulan kemudian panitia mendapatkan izin untuk menggunakan secara tetap sebuah aula di dalam asrama Tiga Mei. Aula itu merupakan sebuah ruangan ujung barak militer yang sebelumnya berfungsi sebagai gudang. Gudang tersebut terletak di tempat di mana sekarang berdiri masjid raya tiga Mei. Dengan adanya sarana ini maka kehidupan rohani warga katolik terbina dengan merayakan misa pada tiap hari minggu. Pada statistik katedral tahun 1955, tercatat jumlah umat Cililitan telah menjadi 488 orang. Di antaranya adalah 427 orang Indonesia, 9 orang Eropa dan 12 lainnya. Umat katolik terdiri dari warga yang tinggal di asrama-asrama militer, tetapi juga keluarga-keluarga yang hidup terpencar-pencar di wilayah yang luas dan masih terisolir.
Pada tahun 1957, seluruh wilayah Kramatjati yang terbentang dari Halim sampai Cijantung diserahkan kepada Paroki Bidaracina. Pastor S. Brotosoegondo SJ diserahi tugas untuk membina stasi ini. Dia adalah pastor tentara yang menjabat pastor pembantu di Bidaracina.
Pada September 1959 terjadi bencana kebakaran hebat di seluruh tangsi militer yang membuat hampir seluruh bangunan musnah. Kebakaran ini membuat banyak warga asrama Tiga Mei meninggalkan daerah itu. Hal ini menyebabkan jumlah umat katolik yang sebelumnya berjumlah ratusan menjadi hanya sekitar 15 keluarga saja. Sementara itu penguasa militer mengambil alih kembali aula yang dipakai sebagai kapel karena diperlukan untuk kepentingan militer. Tetapi di tempat lain, warga katolik asrama BS berhasil mendapat izin dari komandan untuk menggunakan sebuah barak kosong sebagai kapel darurat. Barak itu dipakai bersama umat protestan yang jumlahnya jauh lebih banyak. Pada waktu itu FX. Fernandez Korompis menjadi penghuni baru di asrama BS. Ia kemudian mulai menggerakkan kegiatan rohani dan pelajaran agama di tangsi BS dan sekitarnya.
Dengan jumlah umat yang tinggal di Tiga Mei hanya beberapa keluarga saja, maka pastor Poedjahandaja Pr menganggap kurang manfaat untuk menjadikan asrama-asrama khususnya Tiga Mei sebagai basis dan sekaligus markas kegiatan umat. la menyarankan agar kegiatan umat bergerak keluar, ke tengah masyarakat di kampung-kampung. Dengan kata lain harus mulai mengembangkan sayap sejauh-jauhnya untuk pergi ke tengah masyarakat sipil. (ilustrasi gambar dekorasi altar gereja Cililitan: 12 merpati disuruh terbang pergi ke tengah-tengah kampung!)
Gagasan pastor Poedjahandaja Pr ini segera dilaksanakan. Maka sejak 1963 pertemuan doa mulai diselenggarakan di kampung-kampung seperti di Intirup, Kampung Asem, Condet, Kebun Pala, Kampung Makasar, Halim, Dirgantara, Taman Harapan, Perdatam, dan asrama Tiga Mei serta BS.
Perkembangan ini membuat perubahan pula dalam reksa pastoral untuk umat di wilayah ini. Akhir tahun 1963 pengurus gereja Bidaracina membentuk kring Cililitan yang mencakup di seluruh wilayah, yang terbentang dari Cawang sampai Pondok Cede, Halim sampai Kalibata. Sebagai ketua kring pertama adalah Archadeus da Cunha. Menurut catatan, jumlah umat katolik pada tahun itu mencapai 600 orang.
3. Kring Cililitan yang maju pesat
Pada 1963, pastor Robertus Baker SJ mendapat tugas di Paroki Bidaracina. la melayani umat di stasi Kampung Sawah dan kring Cililitan. Dalam pelayanan misa pertama untuk kring Cililitan, Pastor Bakker terkesima melihat kapel BS yang hanya menampung 60 orang tetapi dijejali oleh 200 orang. Kenyataan itu membuat pemahaman Pastor Bakker terbuka, tak mungkin lagi umat yang begitu besar itu dilayani dengan struktur yang ada.
Stasi Kampung Sawah memang telah lebih lama berkembang, yakni sejak 1896 ketika pastor B. Schwitz SJ mulai bekerja dan mempermandikan umat perdana dari antara penduduk asli Betawi. Sayang bahwa perkembangan selanjutnya mengalami naik turun atau boleh dikatakan stagnan. Sementara Pastor Baker membangun kembali Kampung Sawah, perhatian Romo Bakker makin lama semakin ditujukan kepada kring Cililitan yang maju pesat. Romo Bakker menilai bahwa umat di Cililitan dapat menjadi tonggak paroki yang potensial dan strategis bagi Kampung Sawah. Oleh karena itu mesti dicari jalan keluar untuk menjaga agar pemekaran kehidupan umat tidak terlambat.
Pada 1964, jumlah umat katolik di kring Cililitan telah mencapai sekitar 700 orang. Pastor Bakker sekali waktu datang mengisi ibadah hari Minggu bergantian dengan pastor-pastor tentara dari Gunung Sahari. Pada setiap kali datang, Romo Bakker melihat bertambahnya jumlah umat yang aktif beribadah meski dengan sarana yang minim.
Melihat kenyataan itu maka umat berharap bahwa mereka akan memiliki gereja sendiri dan menjadi paroki sendiri. Tentu saja hal ini diselaraskan dengan rencana pengembangan wilayah Keuskupan Jakarta. Untuk melaksanakan rencana di atas maka pertama-tama yang harus diusahakan adalah masalah pembiayaan. Sumber pertama adalah dari Keuskupan Agung Jakarta. Di samping itu, Romo Bakker SJ menghimpun dana dari keluarganya di Belanda.
Tahap selanjutnya adalah mencari tanah. Meski masih banyak tanah kosong akan tetapi cukup sulit untuk menemukan sebidang tanah yang memenuhi syarat agar kelak bisa dibangun sekolah dalam satu kompleks dengan gedung gereja dan pastoran. Setelah berbulan-bulan lamanya mencari, akhirnya panitia mendapatkan tanah yang cukup luas di belakang asrama Tiga Mei. Pada pertengahan tahun 1965, luas tanah milik gereja telah menjadi seluas sekarang ini dengan luas seluruhnya menurut surat ukur tanah ada 10.910 m2.
Proses permohonan izin untuk mendirikan gedung gereja berjalan lancar. Hampir tidak ada kesulitan yang dihadapi selain harus menunggu dengan sabar selesainya prosedur administratif. Izin itu diperoleh pada tanggal 15 April 1964 dengan nomor 2776/IB. Setelah IMB diperoleh langsung dalam tahun 1964 itu juga sekretaris Uskup menugaskan Ir. Liem Bwan Tjie dari Jalan Lembang untuk membuat rencana gedung gereja. Gereja akan dibangun dengan luas 800 m2, konstruksi beton, atap seng gelombang dan lantai tegel. Rencana ini harus disesuaikan dengan konstruksi baja bekas gudang AURI yang telah dibeli untuk keperluan itu. Tanda-tanda bekas gudang itu kini masih terlihat jelas pada arsitektur gereja Cililitan.
Sebelum pembangunan dimulai romo Bakker mengumpulkan ketua-ketua kring dan seksi-seksi dan segenap umat untuk ikut aktif. Maka Romo Bakker kemudian menunjuk FX. Soeyatno sebagai pengawas pembangunan dari pihak paroki selain menjadi tangan kanannya dalam pengumpulan dana. Seluruh pekerjaan dan arsitektur bangunan akan dilaksanakan oleh biro pembangunan keuskupan.
Sampai 1966, rencana pembangunan gedung gereja belum juga terwujud. Dana belum cukup. Dengan susah payah dan kerja keras pastor R. Bakker SJ bersama FX Soeyatno akhirnya dapat menambah dana dari keuskupan sehingga pertengahan 1966 pondasi sudah dapat dimulai. Bulan Juni 1966 pondasi mulai dibangun.
4. Penataan Reksa Pastoral
Pada tahun 1965 di sela-sela pembangunan fisik gereja, pastor Bakker juga menykpkan langkah-langkah pembinaan umat. Ia merubah dan memperluas struktur organisasi kring. Hal itu dimaksudkan untuk memperlancar tugas-tugas pembinaan umat dalam bidang rohani. Dalam struktur baru itu, kring Cililitan dibagi tiga seksi. Seksi adalah kesatuan geografis yang terdiri dari beberapa kelompok umat yang tinggal berdekatan.
Seksi I meliputi wilayah intirub, Kampung Asem, Angkasa, Dirgantara, Skuadron, sebagian Perdatam dan sebagian Kampung Makasar (sekarang lingkungan Makasar I). Ketua Seksi I adalah Mulyadi. Seksi II mencakup Mandala, Condet, Kelapagading, Asrama Tiga Mei, Bulakrante, Kampung Tengah, Kebon Pala dan Kramatjati. Ketua Seksi II adalah AJ. Yono. Seksi HI terdiri dari wilayah Cawang III, Asrama BS, Kalibata dan sebagian perdatam. Ketua Seksi HI adalah Tobias Kobu Wain.
Selain itu ada dua bidang pelayanan khusus yaitu bidang kerohanian yang diketuai oleh Fernandez Korompis dan bidang Pelayanan kematian oleh Alex Tulangouw.
Dengan adanya pembagian wilayah dan bidang tugas, kegiatan pembinaan rohani maupun urusan administrasi kring makin teratur, pertemuan doa bersama meningkat karena tiap seksi mampu mengkoordinir pertemuan-pertemuan berkala di wilayah masing-masing.
5. Bergeming dihempas krisis finansial
Pada saat gereja mulai dibangun, semua berjalan lancar. Tetapi pada pertengahan tahun 1966 mulailah terasa kesulitan finansial. Bulan oktober 1966 terjadi malapetaka sanering uang RI. Seribu rupiah dipotong nilainya tinggal satu rupiah. Hal itu juga berakibat pada pembangunan gereja. Kegiatan pembangunan makin mundur dan boleh dikatakan proyek mengalami kemacetan. Kesulitan biaya tak teratasi lagi. Bangunan setengah jadi itu sudah ditumbuhi dengan rerumputan dan semak-semak. Bahkan, bahan-bahan bangunan yang ada menjadi sasaran pencuri.
Keadaan ini mendorong umat turun tangan untuk menyelamatkan barang-barang yang tertinggal. Oleh karena itu, dibentuklah kelompok-kelompok kerja di tiap seksi. Setiap kelompok bergilir melakukan kerja bakti dua kali sebulan untuk membersihkan bangunan dari rerumputan. Untuk menyelamatkan barang-barang dari pencurian maka dibentuk kelompok ronda malam.
Menghadapi semua itu Romo Bakker mencari dana tambahan dengan dibantu oleh FX Soeyatno, RA. Susilo dan Hendarman. Sedikit demi sedikit dana terkumpul. Awal tahun 1967 bangunan telah selesai sekitar 75 persen. Akhir tahun 1967 Romo Bakker cuti ke Belanda. Sebagai pengganti selama Romo Bakker cuti adalah Romo AVH Poedjahandaja Pr.
Meski bangunan gereja belum selesai, Poedjahandjaja mengambil inisiatif untuk memindahkan tempat ibadah dari kapel BS ke gereja baru. Hal itu membuka kesadaran bahwa bangunan gereja sungguh-sungguh mendesak untuk diselesaikan. Akan tetapi paroki Bidaracina yang diserahi tanggungjawab untuk menyelesaikan pembangunan gereja menyatakan bahwa mereka tak lagi memiliki uang. Oleh pihak panitia, kenyataan itu dilihat sebagai tantangan. Oleh karena itu panitia pembangunan menyatakan kesanggupannya untuk menyelesaikan pembangunan selanjutnya. Beberapa waktu kemudian Mgr Djojosepoetro SJ datang ke Cililitan dan langsung melihat pekerjaan fisik bangunan. Uskup tidak ingin melihat umat menunggu terlalu lama.
6. Lahirnya paroki baru
Dalam bulan Agustus 1968 Mgr Djojosepoetro SJ meminta pastor P. Kim SJ supaya menugaskan pastor Bakker setibanya kembali dari cuti di Belanda untuk mengawasi dan menyelesaikan bangunan gereja Cililitan. Untuk itu segera harus dibentuk panitia pembangunan yang bertugas menangani paroki baru. Sejak itulah Pastor Bakker secara resmi mulai mengelola pembangunan yang selama ini telah dikerjakan. Seminggu kemudian 22 Agustus 1968 berdirilah “Panitia pembangunan compleks Geredja Tjililitan” dengan susunan pengurus:
Ketua : Pastor R. Bakker SJ
Wakil Ketua : FX. Soeyatno
Sekretaris : REA. Soesilo
Bendahara : Pastor R. Bakker SJ
Anggota : Dr. AMH. Nangoy
Ign. Soewardjio
Remus Lim.
- Pada 2 September Bapak Uskup sekali lagi berkunjung ke paroki Bidaracina. Uskup minta supaya segera diadakan persiapan administratif untuk paroki baru Cililitan. Dalam kunjungan itu diadakan pertemuan dengan pastor Kim dan pastor Bakker. Adapun hasilnya
Untuk sementara waktu, pastor Bakker diangkat sebagai pastor kepala paroki Cililitan. - Pastor Bakker sudah boleh memulai menyusun administrasi paroki dan buku paroki.
- 3. Pastor Bakker ditugaskan untuk membentuk suatu panitia yang akan melakukan tugas-tugas Pengurus Gereja dan Dana Papa.
- Daerah dan batas-batas kedua paroki belum dapat ditentukan secara tepat dan masih harus diadakan pendataan lebih lanjut.
- Peraturan keuangan belum dapat dikerjakan, tetapi pastor Bakker sudah dapat memulai dengan kas Gereja dan Dana Papa sendiri dari hasil kolekte mingguan atau sumber-sumber lainnya.
- Pastor Bakker harus berusaha mencari pembantu-pembantunya yang sesewaktu dapat menggantikannya apabila berhalangan.
Dengan bekal keputusan inilah pastor Bakker membuat rencana konkret tentang persiapan pembangunan paroki.
Berdasarkan pembicaraan bersama dengan pastor dan pengurus gereja Bidaracina maka ditetapkan batas-batas paroki. Paroki Cililitan meliputi daerah Cililitan, Halim, Pondok Gede, dan paroki Kampung Sawah. Batas utara adalah jalan Masjid Cawang III. Sebelah timur berbatasan dengan kompleks perumahan Auri dengan catatan kompleks Trikora dan Dwikora masuk paroki Bidaracina. Di bagian barat adalah rel kereta api Bogor Jakarta, sebelah selatan dengan pasar Rebo.
Paroki yang baru itu memilih nama pelindung Santo Robertus Bellarminus. Paroki dibagi dalam 4 kring. Kring I terdiri wilayah Kampung Asem, Kebon Pala, Intirub, dan komples DKI dan sekitarnya. Ketua kring I adalah J. Yut. Sementara itu Kring II meliputi wilayah Mandala, Tiga Mei, Kelapagading, Condet, Kramatjati, Kebon Jeruk. Ketua Kring II adalah A. Tulangouw sebentar dan kemudian digantikan J.A. Yono. Kring III terdiri dari Asrama BS, Kalibata, Taman Harapan, Cawang III dan Perdatam. Ketua kring III adalah Tobias Kobu. Kring IV meliputi kompleks Dirgantara, Skuadron, Lubang Buaya, Pondok Gede. Ketua kring IV adalah Michael Darsono.
Keempat ketua kring itu menjadi pembantu romo dalam pembinaan umat dan pembangunan fisik. Peresmian gereja sedianya 17 September bertepatan dengan hari pesta pelindung. Tetapi diundur menjadi 29 September 1968 karena persiapan belum matang.
Minggu 29 September 1968 gereja diresmikan dengan misa agung oleh Mgr. Djajasepoetra SJ uskup agung Jakarta.
Sumber : Buku Kenangan 40 tahun Paroki SRB
*Mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penempatan foto-foto ini.
Leave A Comment