Sr. Theresia PI telah menjadi saksi dan pelaku
sejarah bagi tumbuh dan berkembangnya Paroki
Cililitan. Ia tinggal di Cililitan sebelum Paroki ada.
Ia memberikan kesaksiannya tentang awal mula
paroki ini berdiri.
Yohanes yang Mendahului Mesias
“Dari 102 murid TK, 650 murid SD, dan 250 murid SMP yang dapat ditampung di sekolah ini (sekolah St. Markus) kira-kira 25% adalah anak-anak yang perlu mendapat pertolongan, dengan kata lain tidak dapat membayar. Mereka ini berasal dari keluarga yang cukup menderita, misalnya: ayah-ayahnya ada dalam tahanan karena tersangkut peristiwa G 30 S,” demikian sebagian dari laporan Sr. Theresia kepada Sr. Provinsial PI yang dibuat sekitar tahun 1973 perihal perutusannya di Cililitan di tahun yang keenam.
Ia memberikan penjelasan bahwa kebanyakan para murid St. Markus berasal dari kalangan menengah ke bawah seperti kelompok buruh kecil misalnya tukang sapu DKI, pesuruh-pesuruh kantor, pedagang kakilima, tentara rendahan dan lain sebagainya. Menurut kesaksian Sr. Theresia, untuk menutup pembiayaan pembangunan dan operasional sekolah St. Markus, ia dan pengelola mengadakan beberapa macam usaha sehingga biaya operasional tidak mengalami kemacetan.
Dalam hal keimanan anak-anak St. Markus, Sr. Theresia memberikan laporan: “Dari jumlah murid yang ditampung dari TK ada 50%, SD 40% dan SMP 20% adalah anak-anak katolik.” Alasan orangtua yang bukan katolik (Islam) memilih sekolah kita ialah karena mereka tertarik akan kedisiplinan serta mutu
pelajarannya. Hal ini terjadi karena mereka kesal menghadapi macam-macam rongrongan serta kekacauan suasana sekolah-sekolah negeri.
St. Markus adalah penulis Injil yang mengawali narasi kabar gembira Yesus Kristus dengan kisah Yohanes Pembaptis yang mewartakan kenabian sebelum kedatangan Yesus sang Mesias. Maka, sekolah St. Markus pun memiliki peran yang sama dalam konteks kelahiran Paroki Cililitan.
Dari Resah Menjadi Betah
“Meskipun susah payah (akhirnya) jadi dan berkembang”, itulah kesan Sr. Theresia perihal sekolah St.Markus.
Ia datang di Cililitan pada tahun 1967. Hanya atas dasar ketaatanlah yang membuat ia melangkahkan kaki menuju Cililitan. Di Cililitan tak ada komunitas suster PI. Maka ia sungguh merasa sendirian. Ia mengatakan, “Saya merasa dibuang di sini, saya tidak kerasan!” Tetapi provinsial tidak bisa mencari orang lain karena tak ada tenaga. Oleh karena itu maka Sr. Theresia dilepas sendirian di Cililitan. Sr. Theresia sungguh berterima
kasih pada perhatian Romo Bakker, ia seminggu sekali mengantar Sr. Theresia untuk mengantar pakaian kotor untuk dicuci ke Dwiwarna. Hal ini bertujuan supaya Sr. Theresia masih memiliki relasi dengan komunitas PI di Dwiwarna.
Selama 7 tahun ia terus menerus bergumul. Bahkan terpikir olehnya hendak keluar dari biara. Ada beberapa alasan yang membuatnya merasa berat. Alasannya adalah tempatnya sulit. Hal ini terjadi karena ia setiap hari mesti menempuh perjalanan dari Mangga Besar menuju Cililitan.
Sr. Theresia juga mendapatkan bantuan dari Sr. Inigo PI dan beberapa guru awal yakni Ibu Susilo, Ibu Maria Hendarman, dan Ibu Valeri. Mereka adalah guru-guru dari Dwiwarna yang dipinjamkan ke Cililitan. Rm.Bakker juga mengundang guru-guru dari Van Lith.
Rasa tanggungjawab Sr. Theresia di tahun-tahun berikutnya tampak dalam laporan Sr. Theresia kepada Sr. Provinsial PI, “Bidang pendidikan dimana kami diserahi pimpinan T.K. – S.D. Adapun tujuan dari pada pastor paroki mendirikan sekolah dari TK, SD, sampai SMP adalah untuk menampung anak-anak
katolik supaya hidup rohani mereka dapat dipelihara secara teratur.” Dan merupakan tugas gereja bahwa hal pendidikan bagi warganya termasuk salah satu hal yang pokok bagi pembinaan kehiduan paroki. Sedangkan di daerah ini sangat dirasakan urgensinya berhubung dalam wilayah Jakarta Timur ini, di antara 30 sekolah yang ada hanya satu-satunya sekolah katolik yaitu SD. St. Markus di mana kami bertugas. Yang lain adalah sekolah-sekolah negeri, Muhamadiyah, Madrasah. Maka sudah barangtentu para orangtua tidak menginginkan anak-anaknya bersekolah di sekolah-sekolah tersebut karena pembinaan keagamaannya tidak terjamin karena mereka harus mengikuti pelajaran mengaji.
Dicintai Karena Mencintai
Saat ditanya tentang kesan pada Romo Bakker, Sr. Theresia mengatakan bahwa ia orangnya “open – terbuka” dengan orang miskin. Misalnya ada orang sakit, Bakker yang merawat. Perjumpaan dengan Romo Bakker inilah yang pelan-pelan merubah Sr. Theresia sehingga menjadi betah. Katanya, “Romo Bakker saja orang asing mau begitu (memberi perhatian dan pelayanan kepada orang miskin) dengan dana kekayaannya, (masakan) aku orang yang lahir di sini kok banyak tingkah”. Itu terjadi pada 1974.
Ia juga memiliki perhatian kepada orang miskin yang meninggal dunia karena tidak memiliki peti. Untuk itu ia mengusahakan peti mati dalam paguyuban St. Yosef sebagai bentuk perhatian pada orang miskin
yang meninggal. Sr. Theresia terlibat erat dengan pekerjaan ini. Seringkali ia mesti bangun jam 01.00 dini hari bilamana ada orang yang meninggal untuk belanja peti dan mori. “Waktu itu saya kalau belanja naik mobil jenazah,” demikian kenang Sr. Theresia. Bahkan karena waktu pada itu banyak umat Cililitan berasal dari Halim dan Pondokgede. Demikian
kenang Sr. Theresia.
LHarapan yang Menguatkan Untuk Bertahan
Salah satu motivasi yang terus bertahan tinggal di Cililitan adalah memperhatikan harapan umat. Sr. Theresia menuliskan dalam laporan
kepada Sr. Provinsial PI dalam ungkapan berikut, “Harapan masyarakat supaya suster-suster tetap berada dan bekerja di tengah-tengah mereka dan supaya sekolah tetap mendapat pembinaan dari suster-suster. Bahkan tak pernah terpikirkan oleh mereka untuk menghendaki lain daripada itu.
Alasannya, pembinaan dalam karya-karya dapat tetap berjalan secara stabil karena ketekunan serta hasrat berkorban untuk sesama menjadi dasar dari seluruh karya kita karena bersumber dari Kristus yang memanggil kita.”
Berkenaan dengan kelanjutan karya Sekolah St. Markus dan Paroki Cililitan ia berdoa, “Kami berharap apa yang Tuhan telah memulai dengan
perantaraan tenaga kami juga akan setia pada umat- Nya untuk tetap membinanya sehingga apa yang menjadi panggilan kami tetap dapat direalisir sesuai dengan kehendak-Nya.”
Sumber : Buku Kenangan 40 tahun Paroki SRB
Leave A Comment