Fransiskus Fernandes

Tetap tegap dalam usia 83 TahunBila ia melangkah, ia masih berjalan seperti layaknya seorang prajurit dengan dada membusung. Dia adalah Fransiskus Fernandes. Sebagian besar hidupnya berada dalam lingkungan militer. Ia sempat dikaryakan di Fakultas Kedokteran UI. Ia berkisah mengenai awal mula perkembangan Gereja Cililitan. Menurutnya, karena Gereja Cililitan dalam bentuk fisik belum ada, maka banyak umat katolik mesti mengikuti perayaan ekaristi di Gereja St. Antonius Bidaracina. Pada waktu itu, umat yang terdata dan aktif memang belum banyak. Hal ini disebabkan karena umat yang ada hanya terdiri dari mereka yang tinggal di sekitar Asrama Tiga Mei dan Asrama BS saja. Akan tetapi dalam perkembangannya ada banyak umat perantau yang datang.Menurut pengamatannya, umat pendatang dapat hidup berdampingan dengan umat yang telah lebih dulu tinggal, khususnya umat.

yang berada di sekitar gereja sekarang seperti umat di sekitar Asrama Tiga Mei. Untuk menanggapi perkembangan itulah maka sebelum gereja St. Robertus dibangun, telah dibentuk struktur hirarki gereja bagi para awam sekitar tahun 1966 yaitu dengan membentuk Kring atau lingkungan. Sebagai ketua kring adalah Arcadius Da Cunha. Waktu itu Fransiskus Fernandes dipercaya sebagai ketua seksi katekese/liturgi. Adapun daerah yang telah masuk dalam Kring ini adalah wilayah Condet, Kalibata, Cililitan Kecil, dan wilayah-wilayah ke arah timur. Perihal Romo Bakker, Fransiskus Fernandes memiliki kesan bahwa ia bukan hanya bekerja untuk umat katolik saja. Contoh konkretnya, dia selalu membantu umat di Kampung Sawah, dari umat muslim
hingga umat kristen. Dia juga senantiasa mau bergotong-royong dengan melibatkan para remaja. Bahkan dalam berperan sebagai gembala Gereja ia memiliki andil sangat besar, terlebih dalam pendirian sekolah dan juga dalam kegiatan menggereja. Secara statistik jumlah umat Paroki Cililitan mengalami peningkatan yang pesat, terutama setelah berdirinya gereja St. Robertus ini. Oleh karena itu dalam perkembangan yang amat cepat, paroki Cililitan kemudian dikembangkan menjadi paroki-paroki baru seperti, Cijantung, Kalvari, dan Cilangkap. Menurut Fransiskus Fernandes, di paroki St. Robertus terdapat kebiasaan saling membantu bahkan pada warga yang berbeda keyakinan. Perbuatan ini dilakukan bukan saja dilakukan oleh Romo sebagai gembala tetapi juga oleh umat paroki sendiri. Inilah kekhasan yang menurutnya dimiliki oleh Gereja Cililitan.
Di masa kini Fransiskus Fernandes berharap, agar orang muda katolik dapat bangkit dan mengerti akan arti iman dalam hidup menggereja serta menghargai jasa para pendiri gereja awal yang tidak kenal lelah berjuang membentuk gereja kita ini. Fransiskus Fernandes juga berpesan agar umat St. Robertus dapat merangkul umat agama lain sambil mewartakan dan memberi kesaksian akan iman katolik.

–Tjatur

 

Rufina Rumimper Da Cunha

Meski usia sudah menginjak 72 tahun, nenek dari lima belas orang cucu ini masih terlihat enerjik dan bersemangat. Ia adalah Rufina Rumimper yang akrab dipanggil Ibu Arca, istri dari Almarhum Arcadius Da Cunha. Dalam suka dan duka, ibu kelahiran Manado yang murah senyum ini sangat setia menemani suami yang dicintainya dalam memperjuangkan berdirinya Gereja St. Robertus Bellarminus, Cililitan. Ia sadar bahwa sebagai umat Kristiani dan istri, serta ibu yang baik, selain harus mengajarkan kepada anak-anaknya, ia harus menjalankan sendiri hukum cinta kasih. Menurutnya, itulah benteng yang kokoh juga kuat dalam menjalani hidup. Warisan iman Arcadius Da Cunha hingga kini tetap dilestarikan oleh anak-anak dan cucu-cucunya. . elama proses pendirian gereja, ia mengaku tidak terlalu banyak mengetahui sepak terjang sang suami.  Hal ini dikarenakan sang suami jarang bercerita tentang proses pendirian gereja.Meski demikian, ia masih sedikit mengingat sejarah berdirinya Gereja Cililitan.

 Wanita yang sejak kecil telah menjadi katolik ini, bercerita bahwa pada awal mula umat Cililitan biasa pergi ke Gereja Bidaracina untuk mengikuti misa. Waktu itu transportasi masih sulit sehingga menjadi perjalanan yang cukup jauh. Dari ingatannya ia bercerita, Dulu Bapak Arca, bila mau mengikuti misa di Bidaracina, dia harus berdiri dipinggir jalan sambil memperlihatkan buku lagu misa. Ini dilakukan agar ia mendapatkan tumpangan dari warga katolik yang berangkat ke gereja dengan mengendarai mobil. Hingga akhirnya, beberapa umat katolik di Asrama BS mendapat izin dari komandan kompleks untuk merayakan ekaristi di barak kosong sebagai kapel darurat. Kegiatan ini dijadwalkan setiap dua minggu sekali karena mereka harus bergantian dengan umat Kristen Protestan. Biasanya misa dipimpin oleh pastor dari Bidaracina atau pastor Pusroh TNI dan dihadiri oleh umat sekitar Asrama BS serta umat katolik dari Asrama Tiga Mei.
Ibu Arca memberikan kesaksian, Romo Bakker melihat umat Cililitan memiliki prospek yang cerah karena perkembangan umat yang amat pesat. Oleh karena itu ia membuat langkah persiapan untuk mendirikan gereja. Persiapan yang paling utama adalah penyiapan lahan untuk pembangunan gedung gereja. Untuk itulah Rm. Bakker mengutus Arcadius Da Cunha untuk mengupayakan pencarian lahan.
Selama proses pembangunan gedung gereja, Gereja melakukan pendekatan kepada masyarakat sekitar dalam bentuk kegiatan-kegiatan sosial dan juga dalam kesaksian hidup umat sebagai pengikut Kristus. Setelah gereja berdiri, perkembangan umat semakin pesat karena umat katolik yang biasanya mengikuti misa di Paroki Bidaracina memilih untuk mengikuti di Gereja Cililitan karena dekat dan alasan administratif.
Menangkap sesuatu yang khas dari Paroki Cililitan, Ibu Arca berpendapat bahwa di Cililitan para umat memiliki sikap saling menghormati, dan antara umat dengan warga sekitar juga tidak jauh berbeda. Cililitan adalah gereja yang umatnya memiliki berbagai macam latar belakang suku, tingkat pendidikan, pekerjaan dan tingkat ekonomi. Hal ini juga menjadi satu kekhasan dalam Paroki Cililitan. Yang terakhir, ia juga melihat adanya sikap guyub dan kebersamaan dalam paroki kita tercinta ini.

 — Tjatur

Yohannes Tadji

Sejak tahun 1979, ia menjadi penghuni serambi gereja. Artinya, ia berdomisili dekat gereja dan menjadi anggota lingkungan Kelapa Gading, Cililitan. Yohanes Tadji dan keluarga besarnya adalah termasuk salah satu kelompok umat pendatang di Cililitan. Mereka berupaya beradaptasi dengan lingkungan masyarakat yang dominan beragama lain dan suku yang berbeda. Ia dan keluarganya merasa diterima dalam pergaulan di tengah masyarakat karena keterlibatannya dalam kegiatan-kegiatan di tingkat RT/RW. Bahkan tidak segan-segan ia sedikit memaksa umat katolik yang dekat dengan gereja supaya selalu terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan pemerintahan. Dengan cara demikian ia dapat mewakili gereja yang hadir di lingkungan ini. Ia juga senantiasa mengajak umat katolik lain agar dapat terus menjalin silaturahmi dengan umat yang beragama lain. Ia sendiri memberikan terladan dengan sejak awal kenal dan dekat dengan Haji Yatno yang merupakan sesepuh di wilayah Cililitan ini. Menurut Yohanes Tadji, perbedaan yang dialami adalah sebagai kekayaan sekaligus menjadi tantangan. Yohannes Tadjiyang akrab dipanggil Pak Tadji saat ini berusia 68 tahun. Menurutnya, parokiSt. Robertus memiliki kekhasan yakni umatnya sangat plural.

Umat memiliki latar belakang suku yang berbed-beda.Hal ini menjadi ciri khas umat paroki Cililitan. Ada orang Jawa, Batak, Flores dan Menado yang jumlahnya hampir sama. Selain itu masih ada umat yang berasal dari suku-suku lainnya. Tapi sejauh pengamatan Yohanes Tadji, selama ini tidakada konflik yang menyebabkan perpecahan, kalaupun ada, itupun hanya benturan kecil-kecil saja dan itu sangat biasa terjadi dalam diri manusia tanpa karena perbedaan suku katanya. Sejak dulu pastor-pastor mendukung umat untuk menampilkan kekayaan budaya dari suku-suku melalui paduan suara yang bercirikan daerah tertentu, seperti yang sekarang ada IKSU (IkatanKatolik Sumatera Utara), FLOBAMORA yang lama tidak berlangsung tetapi sekarang mulai muncul lagi.
Struktur kepengurusan dalam paroki tidak sejak awal langsung terbentuk tapi melalui proses dan membutuhkan waktu. Sejak terbentuknya wilayah-wilayah yang dulu disebut kringdi paroki Cililitan, Yohanes Tadji adalah yang pertamamenjadi ketua wilayah di sekitar gerejatahun 1980. Ia menjabat sebagai ketua wilayah selama dua periode sampaitahun 1986. Yohanes Tadji juga pernah menjadi anggota dewan. Membagi waktu untuk keluarga, kerja, bermasyarakat dan menggereja tentu tak mudah bagi Pak Tadji tapi semua dilakoni demi Kristus yang hidup dalam dirinya yang harus diwartakannya. Relasi pribadi dengan Tuhan mendukung saya dan keluarga memperlancar segala urusan dalam hidup ini, bahkan kesulitan-kesulitan selalu bisa diatasi dengan pertolongan Tuhan dan Buda Maria, katanya.
Saat ini, banyak kemajuan telah dicapai paroki kita terutama pembangunan fisik dimana-mana, gereja bagian dalam bagus, ada orgel bambu, sekolah St. Markus bertingkat, Gua Maria ada dua dsbnya. Tapi orang muda sepertinya lama terlantar, mereka sibuk dengan kegiatannya yang tak dihubungkan dengan hidup menggereja, apalagi dengan kemajuan teknologi sekarang ini. Orang tua dan gereja sulit untuk merangkul mereka.
Hal lain yang bagi dia penting, sebenarnya dulu sudah dimulai dengan adanya poliklinik sekarang ini. Maksud Pak Tadji, Coba dirangkul umat paroki kita yang mempunyai spesialisasi-spesialisasi tertentu dari berbagai macam displin ilmu lalu memberdayakan mereka sebagai tenaga sukarela melakukan kegiatan-kegiatan dan paroki memberi kesempatan dan wadah bagi mereka untuk mewujudkan solidaritas berbagi dengan sesama di paroki kita. Contoh para psikolog membentuk tim membantu orang-orang yang bermasalah secara psikologis bagi umat katolik dan tidak menutup kemungkinan juga
untuk non katolik, Juga bisa dilakukan para sarjana hukum dsbnya.

–Yulia

Sesilia Sriharti

Ia berasal dari keluarga katolikdi Ambarawa Jawa Tengah. Saat ini ia telah berusia 56 tahun. Tahun 1975 ia menikah dengan Bapak Yohannes Tadji. Ibu Sesilia pernah menjadi ketua wilayah pertama perempuan di paroki Cililitan dan menjabat dua periode. Selama menjalankan tugas ini pula dia sekaligus menjabat pengurus rumah tangga paroki dan pastoran. Pembaktian hidupnya bagi keluarga, masyarakat dan gereja dijalankan sebagai bentuk pelayanannya.
Tugas sebagai ketua wilayah ia terima sebagai estafet tugas dari suaminya yang telah menjabat dua periode ketua wilayah. Sebagai ibu muda, waktu itu banyak tantangan yang harus ia hadapi. Pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak-anak yang banyak menjadi bebannya. Didukung oleh profesi awalnya sebagai perawat, maka sekaligus menjadi modal baginya melayani umat di wilayah serambi gereja, dan warga non katolik. Ia selalu mengusahakan agar senantiasa dekat dengan warga dari berbagai suku dan agama.
Sesilia Suharti banyak belajar dan mendapatkan semangat dari para pastor paroki yang selalu silih berganti di paroki Cililitan. Ia tak pernah membeda-bedakan pelayanan terhadap para imam dari waktu ke waktu sehubungan dengan tanggungjawabnya dalam bidang kerumah tanggaan pastoran. Kurang lebih 1tahun ia mengurus rumah tangga pastoran (1994-2004). Ia merasa beruntung karena suami mendukung tugas ini. Ada satu keyakinan yang menjadi pegangan hidupnya, Semakin banyak melayani maka rahmat semakin melimpah.

–Yulia

Yohanes Baptista Fernandez

Ia yang lahir pada 23 Juni 1936. Sebagai warga di Wilayah II lingkungan Limas II, ia adalah termasuk tokoh pewarta di awal pertumbuhan Gereja Katolik kita St. Robertus Bellarminus. Memang baru pada tahun 1978 ia pindah ke Limas II yang saat itu masih berupa kring yang diketuai Bapak Suwarjiyo.
Ia mulai aktif dalam bidang pewartaan di paroki St. Robertus pada tahun 1981. Sebelum aktif di paroki, ia mulai aktif di lingkungan tempat dia tinggal. Beberapa gagasan dari bapak Fernandez yang masih dijalankan sampai saat ini di bidang pewartaan gereja kita ini, salah satunya adalah pengembangan Kerasulan Kitab Suci (KKS) yang juga dipakai untuk program katekese di lingkungan. Pada tahun itu, diakuinya pula bahwa kepengurusan di lingkungan masih belum ada sehingga banyak umat yang tinggal berpencaran tidak tersentuh oleh gereja.  Umat yang ada di limas II terdiri dari orang-orang dari suku jawa, flores dan beberapa suku dari Sumatra. Untuk mengumpulkan umat tersebut, ia bekerja sama dengan beberapa aktivis.

Pada waktu itu, salah satunya adalah YB. Sagimin yang saat ini sudah almarhum. Di lingkungan ia memulai kegiatan doa rosario bersama dan pertemuan KKS bulanan.
Pada saat menjelang pemilu sekitar tahun 1985 ia menjalankan jalan salib door to door untu menggugah umat agar tetap melakukan kegiatan rohani walaupun saat itu banyak kegiatan pertemuan dilarang karena, disangka bermuatan politik oleh pemerintah saat itu. Akan tetapi ia tetap rajin melaksanakan kegiatan tersebut.

Ignatius Soewardjio dan FX. Soeyatno

Ignatius Soewardjio dan F.X. Soeyatno adalah dua tokoh yang masuk dalam Panitia Pembangunan Gereja Cililitan. Mereka menceritakan, pada saat bertugas di Cililitan, Romo Bakker tergerak untuk mendirikan gereja diantara Kampung Sawah dan Polonia. Hal yang menjadi daya tarik mengapa harus dibangun gereja, karena di wilayah tersebut (tepatnya di tengah-tengah kampung) ada beberapa umat katolik yang tersebar yang berada di kamp-kamp militer.
Pada tahun 1963 tanah wilayah Tiga Mei dibeli oleh Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Pembangunan gereja secara fisik dibangun oleh Tim KAJ dibawah pimpinan Simon. Romo Bakker berkarya dalam mencari uang untuk pembangunan gereja dari Kampung Sawah sampai Cililitan satu diantaranya adalah beternak bebek.

Romo Bakker optimis dengan pembangunan gereja yang dianggap terlalu besar oleh orang-orang, padahal gereja tersebut belum ada umatnya. Dia mengatakan umat sebenarnya ada dan tersebar. Namun, belum menyatu pada suatu wilayah dan dia sangat yakin gereja tersebut akan menampung banyak umat. Hal tersebut terbukti dengan adanya pendatang dan menjadi umat paroki Cililitan. Selain gereja, Romo Bakker juga mendirikan fasilitas yang bisa digunakan oleh masyarakat sekitar, yaitu sekolah, pelayanan kesehatan dan persalinan. Hal tersebut menjadi daya tarik Gereja Santo Robertus yang berada di tengah-tengah kampung.
Salah satu strategi agar umat mengetahui gereja di Cililitan, adalah dengan dibangunnya sekolah dibawah Yayasan Santo Markus. Sebelum adanya bangunan sekolah tersebut, berawal dari sebuah rumah yang disewa pada April 1967, untuk dijadikan tempat belajar untuk pelajar katolik maupun non katolik, untuk Taman Kanak-kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD), yang sekarang ini sudah menjadi Kesusteran. Namun, setelah pembangunan gereja selesai, sebagian masyarakat memprotes atas pembangunan gereja tersebut. Namun hal tersebut bisa diatasi dengan pendekatan ke masyarakat, bahwa pembangunan tersebut untuk kebaikan bersama bukan hanya untuk umat katolik saja. Romo Bakker yang memiliki rasa sosial, membantu masyarakat sekitar khususnya yang berprofesi pedagang. Dia mempunyaijiwa kepemimpinan dengan mengajak umat katolik berkarya di lingkungan. Hal itu secara tidak langsung berpengaruh terhadap masyarakat. Umat pun menyambut karya dan warta yang disampaikan romo. Umat turut aktif dengan seringnya kerja bakti, ronda, dan membantu pembangunan gereja tersebut.
Romo Bakker mempunyai strategi dalam pembangunan gereja tersebut. Pada tahun 1972, ada keinginan untuk membangun dua gereja lagi, yaitu gereja di Cijantung yang berada di daerah militer dan Pondok gede yang sekarang menjadi Gereja Kalvari.
Pertumbuhan Umat Paroki Santo Robertus semakin meningkat, dengan adanya perpindahan umat dari paroki lain ataupun para pendatang dari luar Jakarta dan luar Pulau Jawa. Romo Bakker memiliki jiwa sebagai pelayan, yang terjun langsung ke umatnya untuk memberikan pelayanan terhadap umatnya yang cukup besar. Dan hal tersebut dilanjuti oleh romo penerusnya.
Umat di ParokiSanto Robertus Bellarminus sangat kompleks, dalam arti terdiri dari status sosial atas, menengah dan bawah. Semuanya bisa bersatu dan bekerja sama. Hal inilah yang menjadi ciri khas Paroki Santo Robertus Cililitan. Jangan hitung dosa kami, tetapi perhatikanlah iman gerejamu, hal itulah yang menjadikan umat Paroki Santo Robertus Cililitan bisa berkumpul satu sama lain, sehingga tercipta kerukunan. Organisasi yang pertama kali ada, yaitu Putra Altar. Romo Bakker sendiri yang mendidik dan membimbing Putra Altar. Setelah itu baru Muda Mudi Katolik  — (Mudika).

Sujarwoto

Ia mulai tinggal di Cililitan sejak 1968. Ia memberikan kesaksian bahwa umat perdana Cililitan adalah para tentara karena daerah Cililitan adalah barak bagi tentara. Lokasi tempat ibadah menurut ijin dari AURI adalah aula yang sekarang adalah mesjid di depan gereja St. Robertus. Tetapi karena ijin sudah habis lokasi gereja pun berpindah-pindah.
Ia mengenang, umat di Cililitan tahun 196an adalah kebanyakan umat yang sedang mengalami ujian ekonomi karena resesi yang tiada kunjung habis. Umat melakukan doa devosi untuk dapat membangun gereja dapat terlaksana. Banyak umat berjalan dari Cililitan ke arah Halim untuk devosi kepada Bunda Maria.

Romo Bakker tergerak oleh semangat umat. Inilah yang menggerakkan semangat umat dan Romo Bakker untuk bekerjasama membangun gereja Cililitan. Sujarwoto mengenang bahwa kerjakeras Romo Baker yang mau turun menyapa umat, mengenal umat dan memberkati dari rumah ke rumah menjadi andil perkembangan iman umat wilayah Cililitan bahwa dengan perhatian besar yang diberikan memacu umat untuk kuat dan tabah menghadapi ujian hidup.
Kebanggaan Romo Bakker karena sudah banyaknya umat paroki Cililitan terlihat saat membludaknya umat khususnya waktu misa-misa pada hari-hari besar. Bangunan gereja saat ini sudah nampak megah,jauh dibanding gereja saat dibangun pertama kali dulu. Pembantu liturgi juga sangat kompak tidak didominasi oleh gendertertentu saja dan keaktifan kaum muda dalam lektor, putera altar dan lain-lain.
Harapan beliau untuk kaum muda yang merupakan landasan uamt gereja selanjutnya haruslah diberi peluang untuk setiap ide, gagasan pemikiran dan didukung setiap perbuatan untuk gereja ini haruslah diberi kepecayaan yang tinggi. Semoda dalam memperingati ulang tahun gereja ke-4menjadi kembali landasan untuk iman dan kekompakan umat katolik di St. Robertus.

Sumber : Buku Kenangan 40th.